Selamat Datang di 📚 E-Library

Buku ini bukanlah terjemahan lengkap dari Kitab Al-Bulhan, melainkan versi ringkas yang saya susun dari sekitar 50% isi manuskrip aslinya. Saya memilih bagian-bagian yang paling menarik dan penuh makna, lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia secara bebas namun bertanggung jawab, lengkap dengan ilustrasi dan penataan ulang agar sesuai dengan selera dan kebutuhan pembaca masa kini.

Kitab Al-Bulhan, atau yang bisa diterjemahkan sebagai “Kitab Keajaiban”, adalah manuskrip berbahasa Arab dari abad ke-14 yang menggabungkan unsur astrologi, sihir, mitologi, dan takhayul dari dunia Islam klasik. Naskah ini menyajikan pandangan dunia kuno yang unik dan kaya imajinasi penuh simbol, lambang, dan cerita yang sulit dijelaskan secara rasional. Di dalamnya terdapat kisah-kisah aneh seperti Pulau Waq Waq yang dihuni makhluk berwajah buah dan perempuan yang tumbuh dari pohon, serta pengetahuan tentang pengaruh benda langit terhadap kehidupan manusia.

Sebagai penyusun dan penerjemah, saya berupaya menjaga semangat asli dari naskah tersebut, sekaligus memberikan catatan penjelas agar pembaca dapat memahami konteks budaya dan kosmologi zaman itu. Terjemahan ini tidak bersifat harfiah sepenuhnya, namun saya pilih pendekatan yang memberi ruang untuk interpretasi dan refleksi.

Saya berharap karya ini bukan hanya menjadi bacaan yang menggugah rasa ingin tahu, tetapi juga menjadi pengingat akan kekayaan warisan intelektual dan imajinatif manusia masa lalu. Kitab Al-Bulhan adalah suara dari dunia yang pernah percaya pada keajaiban dan mungkin, lewat buku ini, kita bisa mendengarnya kembali, walau hanya sebagian.

Generasi Z lahir di era digital, tumbuh dalam dunia yang serba cepat, penuh informasi, dan juga penuh tekanan. Kami dibesarkan dalam suasana yang katanya bebas, tapi nyatanya penuh batas. Kami disuruh bermimpi tinggi, tapi ketika suara kami mulai terdengar, kami dibungkam dengan berbagai cara: sistemik, sosial, bahkan emosional. Buku ini lahir dari kelelahan akan semua itu.

Kami bukan generasi yang malas. Kami bukan generasi yang manja. Kami hanya tumbuh di masa yang berbeda, dengan tantangan yang tak selalu dipahami generasi sebelumnya. Dunia yang kami warisi bukan dunia yang kami pilih. Tapi kami tidak lari. Kami memilih untuk menulis, bersuara, dan melawan diam-diam. Buku ini adalah bentuk perlawanan paling sunyi yang bisa kami lakukan dengan kata-kata.

Apa yang tertulis di dalam buku ini bukan sekadar kritik. Ia adalah jeritan yang ditata, keresahan yang dirangkai. Setiap bab adalah jendela kecil menuju pikiran dan perasaan kami tentang sistem pendidikan yang tak lagi mendidik, tentang mimpi yang tak pernah diberi ruang, tentang kenyataan hidup yang sering kali membuat kami bertanya: "Benarkah ini negeri kami juga?" Kami tahu, tidak semua orang akan sepakat dengan isi buku ini. Tidak apa-apa. Kami tidak menulis untuk menyenangkan semua orang. Kami menulis agar orang tahu, bahwa di balik layar gadget dan komentar media sosial, ada anak muda yang berpikir keras, merasakan luka, dan memikul beban zaman. Kami hanya ingin didengar, bukan dihakimi.

Buku ini tidak akan memberikan solusi yang ajaib. Tapi ia bisa jadi cermin bagi orang tua, guru, pejabat, atau siapa pun yang ingin benar-benar mengenal kami. Kami bukan musuh negara. Kami bukan sekadar "produk gagal". Kami adalah generasi yang masih belajar hidup, dengan cara yang mungkin berbeda, tapi tetap dengan niat yang sama: mencintai negeri ini. Kepada siapa pun yang merasa terwakili oleh isi buku ini kita tidak sendiri. Dan kepada siapa pun yang tidak setuju, kami tetap menghargai. Karena masa depan tidak dibangun dengan keseragaman, melainkan dengan keberagaman suara. Dan suara kami juga layak menjadi bagian dari cerita itu.

Akhir kata, buku ini kami persembahkan untuk mereka yang masih berani bermimpi, meski tahu bahwa langit sudah penuh kabel listrik dan kamera pengawas. Semoga tulisan-tulisan di dalamnya tidak sekadar dibaca, tapi dipahami. Sebab dari pemahaman, lahir perubahan.

Buku ini lahir bukan dari hasil menonton konten atau membaca statistik. Ia tumbuh dari pengalaman langsung, dari mata yang melihat dan hati yang heran saat menjelajahi berbagai kota di negeri ini terutama di pulau-pulau besar seperti Jawa dan Sulawesi. Aku tak akan menyebutkan nama kotanya, karena bukan tempatnya yang salah, tapi pola pikir yang menyebar seperti virus gaya hidup yang salah kaprah.

Di kota tempat aku pernah tinggal, hampir setiap hari aku menyaksikan fenomena yang sama: orang-orang yang memaksakan gaya hidup di luar
jangkauan kemampuan. Mereka hidup dalam tekanan ilusi, demi satu hal pengakuan. Padahal, belum punya rumah, motor pun masih impian. Tapi
gengsi memblokir logika. Beli motor bekas dianggap aib. Tidak ikut tren terbaru dianggap ketinggalan zaman. Semua demi pencitraan, bukan
kebutuhan.

Yang lebih mencengangkan, fenomena ini justru banyak didominasi oleh perempuan. Bukan berarti ini soal jenis kelamin, tapi 80% dari yang kulihat
adalah para wanita yang rela menumpuk cicilan demi tas bermerek, skincare jutaan, atau sekadar OOTD agar bisa dibilang "keren" di media sosial.
Sementara isi dompet sudah menipis, mereka tetap memaksa tampil layaknya selebriti. Tak jarang, hidup mereka hancur pelan-pelan bukan karena musibah, tapi karena ambisi tampil yang tak realistis. Aku menulis ini bukan untuk menghakimi. Tapi aku merasa ada yang perlu disadarkan. Sebab hidup yang dijalani bukan untuk dipamerkan, melainkan untuk dinikmati dengan sadar dan bijak. Kita bukan boneka etalase. Kita manusia yang punya batas, punya prioritas.

Semoga buku ini bisa jadi cermin. Bukan untuk mencela, tapi untuk membuka mata. Bahwa hidup bukan soal dilihat orang, tapi tentang bagaimana kita memaknai diri sendiri tanpa topeng, tanpa tekanan palsu, dan tanpa gengsi yang menyesatkan.

Salam hormat,
Muh Arif

Setiap langkah kecil seorang ibu di rumah adalah denyut nadi peradaban. Dalam diamnya dapur, dalam peluknya yang hangat, dalam doanya yang tak terdengar, di sanalah dunia ini digenggam. Buku ini lahir dari ruang-ruang paling sunyi namun penuh makna—ruang hati
seorang ibu rumah tangga yang ingin berbagi cerita, bukan karena sempurna, melainkan karena setia.

Saya, Nurwahyuni Putri, bukanlah seorang tokoh besar. Saya hanya seorang ibu yang memilih untuk menetap di rumah, menemani anak-
anak tumbuh dengan tangan sendiri, dan mencoba menemukan makna dalam setiap kerepotan, kelelahan, dan keharuan yang mewarnai hari-hari saya. Dalam perjalanan menjadi ibu, saya belajar bahwa pelukan kita pada anak-anak bukan hanya sekadar kehangatan, tapi juga bentuk
doa, benteng perlindungan, bahkan harapan akan dunia yang lebih baik.

Melalui buku ini, saya mengajak Anda untuk berjalan bersama dalam catatan reflektif berisi perasaan, air mata, tawa, dan pelajaran yang saya temukan dalam peran saya sebagai ibu rumah tangga. Mungkin kisah saya bukanlah kisah Anda, tetapi saya percaya, setiap ibu
memiliki ruang di hatinya yang akan memahami dan merasakan benang merah dari setiap cerita yang ditulis di sini.

Semoga setiap bab dapat menyentuh hati Anda. Semoga tulisan ini menjadi pengingat bahwa menjadi ibu bukan tentang menjadi
sempurna, tetapi tentang mencintai dengan sepenuh jiwa, bahkan saat tidak ada yang melihat.

Terima kasih kepada Tokobuku1001 yang mewujudkan buku ini, dan kepada Arif Nur yang merancang tampilannya dengan cinta.

Selamat membaca dan meresapi.

Dengan cinta dan haru,
Nurwahyuni Putri

Halo teman-teman, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membuka dan membaca buku ini. Judulnya mungkin terdengar cukup Nyeleneh, tapi percayalah ini bukan sekadar sensasi. Buku ini lahir dari kenyataan yang banyak dari kita rasakan, tapi jarang diungkapkan. Tentang perasaan gagal, beban yang tak terlihat, dan tekanan yang datang bukan dari orang asing, melainkan dari orang-orang yang seharusnya mendukung.

Sebagian besar dari kita tumbuh dengan harapan untuk menjadi kebanggaan keluarga. Namun, ketika proses itu tidak sejalan dengan harapan, perlahan-lahan kita dianggap sebagai beban. Padahal, kita tidak sedang bersantai atau menyerah. Kita sedang berjuang dengan cara masing-masing, dalam situasi yang tidak selalu adil, dan dalam sistem yang sering kali tidak berpihak pada mereka yang memulai dari nol.

Melalui buku ini, saya ingin mengajak kamu dan teman-teman semua untuk memahami bahwa setiap perjuangan itu valid. Gagal menjadi anak sukses bukan berarti gagal sebagai manusia. Kadang, yang kita perlukan bukan nasihat motivasi klise, melainkan ruang untuk didengar, dan keberanian untuk berkata, “Saya sedang mencoba, walau belum sampai.”

Buku ini tidak menawarkan solusi instan. Tapi semoga setiap bagiannya bisa menemani langkahmu, memberi sedikit rasa lega, dan menunjukkan bahwa kamu tidak sendirian. Kamu boleh istirahat, boleh kecewa, tapi jangan biarkan dunia mencabut semangatmu. Teruslah berjalan, meski pelan. Karena kadang, itu saja sudah cukup hebat.

Di ambil pada google sebagai percobaan

Ambil google sebagai percobaan